Pelatihan Information Literacy

15 08 2012

Silahkan di download file di bawah ini:

HMPS SOSIOLOGI UAJY





Belanja Bareng Om Lacan

13 08 2012

Belanja Bareng Om Lacan

Akhir pekan segera tiba. John Sosiawan, teman kita, tak sabar untuk menikmati libur akhir pekan. Telah lama ia berjuang habis-habisan untuk bisa mengajak Feminita, mahasiswi yang cantik tapi garang jika diskusi, untuk sekedar jalan-jalan.

Kali ini, entah kerasukan jin apa, kok tiba-tiba Feminita mau diajak jalan-jalan sama kawan kita John. Dengan tampilan baju Banana Republic, yang entah asli atau tidak, sang mahasiswa  tampak percaya diri (sst…. tapi jangan bilang-bilang, dibaliknya teman kita toh masih memakai kaos singlet cap kijang..hehehehe). Wangi parfum, yang meski tak pakai Aqua di Gio, toh member kesan cowok berpenampilan metroseksual sesuai gambaran Mark Simpson.

Kakek Oong, yang biasanya cuek karena tak terlalu suka dengan lelaki yang dandan,  toh terbetot pula penciuman dan penglihatannya.

“Ini orang jual parfum atau kemenyan sih?” sengat Kakek Oong.  Seketika John Sosiawan gelagapan, dan terlihat down mentalnya.

“Yang bener Kek, baunya kayak apa? John mulai tak percaya diri.

Terkekeh Kakek Oong, “Nang….yang penting percaya diri dong, masak mahasiswa aktivis kok gampang  grogi!”

Sambil tersipu John pergi ngeloyor.

Feminita memang mahasiswa cerdas dan percaya diri. Wajarlah jika John selalu berusaha meningkatkan kepercayaan dirinya tiga kali lipat. Pokoknya harus tampil sempurna kalau di depan Fem. Perkataan, pikiran, penampilan atawa tiga “p” mesti hebat. Salah sedikit bisa hancur.

Bak investor yang menjelaskan business plan, John memaparkan rencana. Pertama ngopi di Starbucks. Kedua, jalan-jalan beli baju. Ketiga, makan malam di resto yang romantis dan sedikit mewah. Semua John yang traktir (Anda gak usah tanya uangnya dari mana, pokoknya ditanggung halal dan tidak korupsi!). Fem sih senang-senang aja. Cengengesan sambil ketawa ngakak dalam hati. “

Acara pertama, berjalan lancar. Kopi, yang katanya bisa mendebarkan jantung, ternyata malah mendongkrak kepercayaan diri tambah jreng. Acara kedua tak ada aral melintang. John dan Fem menenteng baju dan kaos bermerk, yang sering dibahas dalam kuliah Periklanan. Tak etislah menyebut, dikira pemasaran.

Acara ketiga,  ini dia. Tak disangka, tak diharapkan, tiba-tiba paman Fem telah duduk di samping John. Kekikukan dan kejengkelan kawan kita bercampur-baur. Sudah diganggu pihak ketiga, malah Fem cengingas-cengingis.

Dengan sekuat  tenaga, suara yang nyangkut ditenggorokan pun dikeluarkan. “Belanja apa Om?” Tanya asal-asalan John.

“Jouissance” jawab sang paman.

Celingak-celinguk John mencari barang bawaan paman Fem. Yang dicari tak ada. Mungkin dikantongi. Barang mahal kan biasa ukurannya kecil, batin John kawan kita.

“Sering ke sini ya om?” coba mengalihkan pembicaraan agar tak terlihat bingung.

“yah…cari jouissance aja!”

Hasilnya sungguh cespleng, kawan kita mengalami gegar otak ringan! Untunglah Fem segera tanggap, menyelamatkan nyawa John, segera ia menukas tangkas. “Mana Om parfume merk joissance?”

Tak diduga, tak dinyana, paman yang biasa sabar itu terlonjak dan melotot, tak bisa menyembunyikan kekagetan. “Hrhrhrhrhrh, Fem…..kamu itu aktivis macam apa? Aduh,aduh,aduh…. Jouissance dikira parfume!!!!!

Seketika merah padam pula jagoan feminis kita. Dan, baru kali ini rasanya John memiliki pembela di depan Fem. Di balik tragedi Fem, John menikmati keuntungan: kepercayaan diri yang meninggi!

Masih marah, paman pun menyembur lagi, “buku apa yang kamu baca?! Dosenmu  gak pernah baca juga? Kuliah bayarnya selangit, tapi dapet pengetahuan cuma seruas jari. Huh!!!! ”

Sambil mengomel pergi, paman meninggalkan kartu nama. Penasaran, John segera mengambil untuk melongok nama lengkap berikut gelarnya. Kecele, di sana hanya tertulis: please, searching http://www.library.nu, key word: jaques lacan.

bambang-kusumo





Membaca Iklan Peti Mati

22 08 2011

ditulis oleh: Bambang PK

Pagi-pagi, Kanjeng Raden Tumenggung Ongkodiningrat atau biasa dipanggil Kakek Oong atawa Ndoro Kanjeng telah ngedumel, “dasar iklan gak tahu etika. Gak bisa menghargai orang. Pikiran keblinger!”

John Sosiawan, mahasiswa Sosiologi dan aktivis di sebuah perguruan elite, yang siap berangkat ke kampus pun terpaksa berhenti. Menengok sebentar sambil bertanya, “Ada berita apa Kek?”

Masih dengan jengkel, Kakek Oong pun menyodorkan koran yang dipegangnya. Judul tulisannya, “Heboh Pengiriman Peti Mati di beberapa Kantor Iklan, konsultan, pesohor dan Media.”   Itulah berita yang kini bikin heboh di Jakarta. Demi alasan promosi, Sumardy, CEO BUZZ & Co,  ingin meluncurkan buku Rest In Peace Advertising: The Word of Mouth Advertising. Alih-alih mendapat simpati, aksinya malah menuai kecaman. tak terkecuali Kakek Oong.

“Coba John, kamu yang katanya belajar Sosiologi Iklan, jelaskan model apaan ini?” cecar Kakek Oong pada cucunya.

“Ini fenomena dunia populer, Kek!” jawab John sedikit ragu, soalnya gak yakin juga apa bener atau tidak.

“Heh….apa itu dunia populer? Omong yang jelas dong!”

“Yah…ini istilah gaul orang muda Kek!” jawab John sekenanya. Karena ia lupa betul penjelasan dosennya. Mungkin ketika dosennya ngasih tahu, ia pas ijin ke toilet. Habis, John emang selalu gemetaran jika diajar dosen killer yang galaknya tak ketulungan. Ditanya malah balik tanya, kalau jawab malah salah. Habislah John, teman kita ini. Bahkan, kalau dihitung-hitung, selama 90 menit waktu kuliah, ia telah ijin ke toilet lima kali. Jadi, kalau ke toilet butuh waktu 3 menit, ia telah habiskan 15 menit hanya untuk kepentingan buang air kecil dan sedikit melepas ketegangan.

Sebelum kakeknya mencecar dengan pertanyaan lanjutan, ia pun telah ngacir pergi kuliah.

Ini dia yang dicari-cari John. Theo Komar, sohibnya yang kuliah di Program Studi Komunikasi dan sering dipanggil mesra oleh sahabatnya sebagai Si Kokom, meski ia sendiri ingin dipanggil Theo. Sebuah niat mulia yang tak terlaksana.

“ ah…itu sih dikecam karena mengabaikan soal etika. Ini aku kutipkan pendapat dari pakar pemasaran paling jago se Indonesia raya. Itu bukan hal baru dalam dunia periklanan. Cuma kiriman peti mati itu bikin tidak senang yang dikirimi. Iklan yang baik itu harus bisa membuat senang.” Jelas Kokom dengan semangat dan seperti biasa, tak ketinggalan mengutip teori-teori Komunikasi kebanggaannya.

“advertising is a political economy of sign values, and advertisements are vehicles for producing commodity- signs. As a system of signification, advertisements compose connections between the meanings of products and images.” Tiba-tiba muncul suara nyaring. Siapa lagi kalau bukan, Feminita, yang selalu mengaku penggemar filsafat dan aktivis feminis. Kalau baca iklan yang kritis dong! iklan telah menjadi culture. Iklan adalah soal framing of meaning.  Dus, itu bukan kematian melulu, tapi juga bisa dimaknai sebagai kritik terhadap hancurnya moda komunikasi, kematian jurnalisme, kematian idealisme, kematian kreativitas dan kematian kebudayaan kita. Ingat bro, advertising is also a reflection of society.

“Lalu, etika dimana Fem? curiga Si Kokom. Ia penasaran, kok risalah itu tak diajarkan di kelas.

“Relatif!” jawab Feminita sambil mengeluarkan buku acuannya, Robert Goldman, Reading Ads Socially.

Tiba-tiba, melayang sebuah guntingan iklan parfum yang menawarkan diskon dari sela buku!





Beli Camilan dan Hampir Debat Kusir

22 08 2011

Beli Camilan dan Hampir Debat Kusir

ditulis oleh: Pouk

Pagi-pagi sudah diraba-raba sama ibu yang punya kios di depan lapangan sepak bola, tak jauh dari tempat aku ngekos.

“Ini dua ribu lima ratus, trus sama yang satu ini seribu lima ratus isinya kacang hijo.” Ibu itu menjelaskan harga barang dan jari telunjuknya mengarah dekat ke dadaku. “Untung saja saya bukan HETEROphobia,” gumamku dalam hati. Ibu ini pagi-pagi sudah mikir yang saru-saruan atau aku yang salah make kostum ya? Pagi ini cuacanya agak cerah makanya pakai baju dalam atau rompi saja supaya dapat vitamin D gratisan dari mentari.

Setelah itu dia masukan jajananku ke dalam tas kresek hitam. “Gak usah Bu, ntar nambah sampah di kosku,” kataku menolak. Begitu mau beranjak balik ke kos, dia memberhentikan aku dengan pertanyaan: “tuh, anak ibu kosmu nikahnya kemarin. Kamu tau gak?”.

“Wah… Bu aku sering keluar jadi gak tau kalo ada acara di kosku. apakah Ibu ikut acara perkawaninannya?” “Gak ikut. Soalnya semua orang di sini tidak dapat undangan.” (hahahahah) aku cuman tertawa saja, jangan-jangan ibu ini menyesal karena gak diundang dan kali ini dia gak punya teman untuk menggosipin sesama ibu-ibu di Janti.

Dia mulai bertanya lagi “Kamu sering keluar? Cari apa? Cari cewek ya? Katanya cowok yang nikah sama anak-ibu kosmu itu dari asrama sebelah asrama mahasiswa kota Tarakan.” I don’t fucking care about her gossip. Saya mencoba untuk mengalihkannya dan lebih fokus untuk menjawab pertanyaannya mengenai cari cewek. “Bu, aku tuh gak doyan ama cewek, aku sering keluar tuk cari cowok getooo Bu.”

“Wah itu gak normal, kalau kamu cari cewek sampai dapat lima atau lebih, itu gak apa-apa, kalo kamu cari cowok hanya dapat satu pun itu udah melawan kodrat. Kodrat manusia itu yah… cowok sama cewek.” Dia mengira aku hanya bercanda lalu bertanya lagi, “Apakah kamu memang begitu?”
“Iya Bu,” jawabku.
“Kamu jangan melawan arus, kamu harus mengikutinya saja. Itu kan sudah diatur dalam agama dan masyarakat, cowok harus sama cewek. Keinginan seperti itu harus hindari.”
“Wahh.. Bu tapi kan ada kenikmatan tersendiri.”
“Bagaimanapun itu tetap dosa, kalau arus sungai kamu boleh melawan, tapi ini arus….”
“Bu arus apapun aku mau melawannya hanya untuk mendapat kenikmatan,” kataku memotong. Dan ibu itu mengulangi lagi statement sebelumnya. ”Kamu tidak normal….!”

Pagi-pagi udah diajak untuk debat kusir, padahal awalnya dia hanya mau gosipin ibu kosku dan keluarganya. Yah… pasar itu memang bukan tempat untuk jual beli, tetapi tempat untuk membangun hubungan-hubungan sosial, atau tidak sekedar transaksi. Ibu itu berusaha akrab denganku tapi responku dari jawaban-jawabanku kurang bersahabat. Tapi toh, nyatanya dia terus saja menggosipkan sesama perempuannya.

Dan satu hal yang membuatku heran adalah argumennya yang tidak mengenal penindasan. Walaupun seorang perempuan, tapi tetap juga senang kalau saya pacaran atau dalam bahasanya ‘menggaet’ (dapat cewek). Secara tidak langsung perempuan juga bisa mengobyektivikasikan (mengsubordinasikan) sesama perempuan. Bukan hanya laki-laki yang bisa melakukannya. Pandangan perempuan ini diperkuat lagi dengan pemahaman ajaran agama melalui penafsiran para elit agama yang merasa baik-baik saja, malah keenakan kalau cowok melakukan poligami (ingat, poligami beda dengan poly amour!).

Dan satu lagi tentang pasar, perempuan itu telah merusak hubunganku dengan dia yang selama ini baik-baik saja. Strategi pemasaranya kurang bagus karena dia telah terang-terangan menolak satu pelangangnnya dengan pandangan-pandangannya yang sangat bias gender di hadapan seorang gay.
Untung saja saya tahu bahwa dia bukan anak kuliahan atau sekolahan; tapi tetap sama saja. Dia tidak buta huruf, hanya saja mungkin belum dapat bacaan-bacaan tentang gender. Bagaimana mereka bisa membaca buku-buku tersebut kalau sebelumnya mereka sudah diajarkan untuk menolak buku-buku yang membahas masalah gender yang tidak hanya membicarakan ketimpangan dalam relasi heteroseksual.

Coba kalau ibu itu lulusan sarjana, yakin choyyy.. saya tidak akan belanja lagi di kios-nya. Sadar dong… LGBTIQ itu ada di mana-mana. Kalau kamu mendiskriminasi mereka, kamu akan kehilangan teman, suami, istri, anak, orang tua, guru, dosen dll… (atau pelanggan sekalipun bagi yang berdagang, seperti pengalamanku pagi ini).
Obrolan kami berakhir ketika hpku berbunyi. Walahhh ibu itu sempat bilang, “Hayoo tuh dari siapa?!” Bingung juga ibu itu over-care sama aku hahahahaha…. Kalau saja dia tahu, sms itu dari temanku Lia yang mau ikut acara teman-teman waria di kampus (isi smsnya: “kak Dino kapan diskusi LGBT?”).

Aku bangunnya telat. Apakah acaranya sudah dimulai? Ahhh gak tau. Pasti yang hadir di sana yah cuman orang-orang itu saja atau mereka yang sudah pernah ketemuan di beberapa forum diskusi. Mereka “sering” buat acara dan menikmati acaranya sendiri.

Undang dong, tuh orang-orang yang HETERONORMATIFnya masih sangat kuat! Atau mereka yang over homophobia sekali pun diundang semua supaya mereka bisa olah raga jantung atau kebakaran sekalian. Haha..





Agama Adalah Candu

25 05 2011

Agama Adalah Candu

Seperti yang dikatakan Karl Marx bahwa agama adalah candu merupakan fakta sosial dalam masyarakat. Dalam salah satu kutipannya ia mengatakan bahwa “Religious distress is at the same time the expression of real distress and the protest against real distress. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people. The abolition of religion as the illusory happiness of the people is required for their real happiness. The demand to give up the illusion about its condition is the demand to give up a condition which needs illusions.”
Pandangan marxisme terhadap agama berdasar atas data historis Eropa menjelang akhir Abad Pertengahan. Ia melihat di Eropa bagaimana kaum bangsawan dan pendeta sebagai kelas atas bekerja sama membius kelas bawah supaya sabar menderita menerima nasibnya dengan iming-iming kebahagiaan di akhirat. Demikianlah agama diperalat, yaitu dijadikan obat bius oleh kelas atas untuk mengisap kelas bawah. Itulah sebabnya Marx memberikan karakteristik agama sebagai candu bagi rakyat. Sejak dini pandangan Karl Marx sudah miring terhadap agama. Benak Marx dihantui oleh persepsi bahwa agama itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi. Tidak bisa dipungkiri bahwa hingga saat ini orang rela melakukan apapun atas nama agama. Karena begitu dalamnya agama merasuki pikiran dan kehidupan kita sehingga tidak jarang orang-orang yang memegang teguh kebenaran agama sebagai kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu gugat dan tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya.
Permasalahannya adalah tidak hanya terdapat satu agama saja di dunia ini, ada begitu banyak agama, tidak hanya puluhan bahkan ada ratusan agama berbeda dengan keyakinan dan idiologi dan juga penganut yang berbeda-beda pula. Para penganut agama biasanya tidak menyadari bahwa kebenaran itu relatif, tetapi mereka terkadang beranggapan bahwa kebenaran hanya milik mereka dan Tuhan mereka saja. Sehingga menganggap pengikut agama lain salah. Hal inilah yang sering manyebabka terjadinya konflik antar agama yang sering diwarnai dengan kekerasan.
Bicara agama juga tidak lepas dari faktor-faktor politik, kekuasaan dan kepentingan-kepentingan lainnya. Contohnya konflik SARA yang sering terjadi di Indonesia sering dikaitkan dengan isu-isu politik sebagai peralihan public terhadap masalah yang ada dalam pemerintahan kita. Bicara masalah kekuasaan karena agama merupakan salah satu bentuk organisasi, yang kita tahu bahwa manusia adalah mahluk sosial yang cenderung berkumpul dan membentuk kelompok berdasarkan kesamaan cita-cita dan idiologi. Manusia juga mencari kekuatan didalam kelompok dan kekuatan tersebut biasanya diperoleh berdasarkan jumlah. Karena jika mayoritas maka kemungkinan besar untuk mengintimidasi minoritas akan lebih besar, sebaliknnya jika minoritas maka kemungkinan akan terintimidasi yang akan lebih besar. Sehingga setiap pengikut agama berlomba-lomba menambah pengikutnya dan berusaha saling menjatuhkan mennyebabkan yang juga sering menimbulkan konflik kepentingan dengan cara kekerasan.
Candu yang terkait agama disini adalah candu yang dapat mengakibatkan orang bertindak diluar kesadaran dan logikanya karena pengaruh imajinasi yang disebabkan oleh candu tersebut. Maka ada kemungkinan ketika orang-orang melakukan kekerasan ataupun hal-hal lain terkait agama sebenarnya diluar logika dan kesadarannya namun karene pengaruh dari imajinasi agama atau candu dari agama. Bisa jadi ia bahkan tidak tahu apa yang ia lakukan dan untuk apa hal itu harus ia lakukan. Mungkin jika berfikir dengan logika ia tidak akan mau melakukan hai itu. Contoh: jadi pelaku bom bunuh diri atasnama jihad.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ari Yuana, Kumara. 2010. THE GREATEST OF PHILOSOPHERS. Andi: Yogyakarta

by: bella





dari redaksi

26 02 2010

Akhirnya terbit juga! Ungkapan kelegaan itu yang tercurah begitu Buletin Sosiologi sampai di tangan Anda. Sekian lama tertunda dihadang berbagai persoalan tak menyurutkan semangat kami. Semangat untuk menjaga kemampuan berpikir, mengungkapkan ide dan berargumentasi lewat tulisan terus hidup di tengah komunitas mahasiswa sosiologi, menggugat kami berupaya memelihara ruang belajar ini agar terus hidup.

Dalam edisi kali ini kami menampilkan pemikiran-pemikiran para kontributor kami yang, barangkali, mengejutkan. Bila selama ini wacana yang berkembang tentang gender dan seksualitas dalam iklan mengatakan perempuan berada pada posisi yang lemah (powerless), maka dalam tulisannya Seks dalam Iklan, yang Seksi yang Berkuasa, Ining Isaiyah menyangkal hal itu.

Demikian pula jika modernitas kerap dicurigai bakal melumat kebudayaan lokal, dalam tulisannya Transformasi dan Dialektika Budaya di Indonesia, Ryan F memperlihatkan agama lokal atau kepercayaan-kepercayaan tradisional mampu bergeliat dan mengambil ruang dalam pertemuannya dengan modernitas.

Selain dua tulisan di atas yang kami sajikan sebagai menu utama, edisi kali ini juga menampilkan pendapat-pendapat mahasiswa sosiologi tentang budaya popular, tentang persoalan jurnalisme infotainment, juga karya seni (puisi dan cerita pendek). Serta informasi berharga tentang interenship, dan informasi-informasi seputar kegiatan HMPS.

Ke depan, sebagai wadah belajar bersama, kami berharap kehadiran Buletin Sosiologi sanggup menyulut semangat berkarya (menulis) kita semua. Bahwa meja redaksi ‘kebanjiran’ naskah, itulah kebanggaan kami.

Akhir kata, selamat membaca.

salam,
redaksi





artikel

26 02 2010

Seks dalam Iklan, Yang Seksi Yang Berkuasa

Oleh Ining Isaiyas

Lelaki penjual permen itu bengong. Sedikit melongo. Begitu ia terpesona pada wanita seksi yang mendatanginya untuk membeli permen lolipop rasa ayam. Selanjutnya dikisahkan bahwa sang Wanita memberikan nomor telepon dengan harapan bahwa bila ada permen lolipop rasa ayam, si Penjual akan menghubunginya.

Itu salah satu versi iklan televisi parfum Axe. Nuansa pendekatan seks sangat kental dalam ikan tersebut. Iklan lain yang dibuat dengan pendekatan seks antara lain iklan Citra Lotion versi Perempuan Cantik Melintas di Taman dan Biotanical BodyShower versi Perempuan Tampil Canti[1].

Pendekatan seks (sex approaches) menempati posisi unggul dalam dunia periklanan. Banyak iklan, entah produk dalam negeri maupun luar, diciptakan dengan pendekatan ini (Widyatama, 2006: 174). Teknik ini sudah ada sejak 1800-an. Hingga kini pendekatan seks ini masih dominan (Pawlowski, 2007).

Diskursus yang berkembang atas iklan dengan pendekatan seks adalah bahwa iklan itu cenderung menempatkan wanita sebagai obyek (Rachoza, 2003; Venkatesan dan Losco dalam Schroeder dan Borgerson, 1998). Seringkali dikatakan pula bahwa pria bersosok jantan dan mampu menundukkan wanita yang adalah obyek bagi mereka.

Diskursus juga berkembang ke arah bahwa wanita adalah pihak yang tereksploitasi dalam iklan. Mengacu pendapat Sita Van Bemmelen (Siregar et alii, 2000: 59), ’wanita (cantik) dalam iklan, paling sedikit dimanfaatkan untuk daya tarik produk, bukan karena maksud memberi tekanan kepada kecantikannya’. Iklan mengeksploitasi tubuh wanita sebagai alat kunci untuk berkomunikasi dengan khayalak (Berger dalam Pawlowski, 2007: 16).

Secara implisit, diskursus yang ada berkesimpulan bahwa wanita berada pada posisi yang lemah (powerless) dalam iklan. Iklan-iklan mengukuhkan stereotype gender bahwa laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan (Goffman dalam Gill, 2007: 79; Gauntlett, 2002: 54-56).

Paper ini ingin menyatakan hal yang sebaliknya, meragukan argumentasi bahwa wanita dieksploitasi dan ditempatkan pada posisi yang lemah, dan menyangkal keniscayaan bahwa wanita ’tidak berdaya’ (powerless) dalam iklan. Dalam iklan, wanita tidaklah tidak berkuasa; wanita berkuasa dalam iklan.

Saya ingin menyebutnya kounter diskursus. Hal ini penting mengingat, seperti yang dikatakan Foucault, bahwa kekuasaan beroperasi melalui diskursus dan akan mengontrol diskursus-diskursus supaya tidak berpotensi untuk melemahkannya. Di luar hal tersebut, pembicaraan mengenai iklan menduduki posisi penting karena kita hidup di ’zaman simulasi’ (Baudrillard dalam Ritzer, 2003:161) dan iklan adalah ’suatu realitas’ yang dihadapi manusia setiap hari.

Iklan, Seks, dan Relasi Kuasa Gender

Iklan ada di mana pun. John Philip Jones (Desmond, 1999) mengatakan bahwa setiap orang melihat rata-rata 1.500 iklan setiap hari.

Televisi, suratkabar, majalah, internet, dan jalan adalah tempat di mana iklan bertebaran. Bila mengacu pada data Badan Pusat Statistik tahun 2003, penonton televisi Indonesia sudah mencapai 84.96 persen atau sekitar 182 juta jiwa, itu bisa berarti bahwa 182 juta orang seitap hari berhadapan dengan iklan. Belum yang di suratkabar, internet, dan jalan.

Iklan dan seks adalah dua hal yang sangat dekat. Seks, yang mewujud dalam sensualitas model iklan, merupakan cara efektif untuk menarik perhatian khalayak. Setidaknya, 63 persen khalayak laki-laki dan 28 persen perempuan tertarik untuk melihat iklan dengan muatan seks (Nudd, 2005: 17).

Pendekatan seks mulai digunakan sejak 1800-an. A. Berger mengatakan (Pawlowski, 2007: 2) bahwa seksualitas, keinginan seksual, hasrat seksual, dan bahkan keintiman hubungan seks adalah sesuatu yang tersebar dan ada di mana pun dalam iklan. Mungkin faktum ini juga membenarkan keraguan Foucault apakah seks benar-benar direpresi pada zaman Victoria sekitar abad 17.

Di Indonesia, hal yang senada terjadi. Unsur seks begitu kental dalam iklan-iklan yang ada, terutama iklan televisi. Represi seks nampaknya memang tidak pernah berhasil mengingat pembahasan UU pornografi yang sudah dimulai tahun 1997 dan iklan-iklan yang ’berbau’ seks tetap berserakan. Jumlahnya mungkin meningkat.

Persoalan dan pembicaraan seks melibatkan umumnya pria dan wanita. Dalam iklan-iklan yang menggunakan pendekatan seks, representasi relasi kuasa antara lakilaki dan perempuan juga turut serta.

Hipotesis Subordinasi Perempuan[2]

Umumnya dikatakan bahwa iklan-iklan yang menggunakan pendekatan seks mensubordinasi perempuan. Dalam hal relasi kuasa, perempuan adalah pihak yang lemah, tidak berkuasa, dan tunduk pada kekuasaan laki-laki.

Para penulis yang membicarakan persoalan gender dan media seperti David Gauntlett, Rosalind Gill, dan Christine Gledhill masih mengungkap bahwa kecenderungan media untuk menyupordinasi perempuan masih kuat. Media cenderung merepresentasikan ketimpangan gender yang ada dalam masyarakat dan dengan itu mereproduksi pula relasi kuasa yang timpang.

Rendra Widyatama, yang secara khusus mengkaji iklan di Televisi Indonesia pada tahun 2006, masih memegang ‘hipotesis subordinasi perempuan’ ini. Subordinasi ini menjelma dalam 2 bentuk. Pertama, penempatan wilayah peran perempuan. Kedua, karakteristik fisik dan psikologis laki-laki dan perempuan.

Dalam iklan-iklan televisi Indonesia, umumnya perempuan masih ditempatkan di wilayah domestik dan pria di wilayah publik. Empat puluh satu dari 45 iklan menampilkan perempuan berada di rumah dan 34 iklan menampilkan laki-laki berada di ruang publik (Widyatama, 2006).

Dalam hal fisik, biasanya iklan menampilkan laki-laki dengan tubuh atletis dan kuat. Perempuan ditampilkan dengan tubuh yang lemah lembut dan cantik. Dalam hal psikologis, iklan menampilkan pria sebagai seseorang yang rasional dan wanita sebagai yang emosional.

Subordinasi ini juga berjalan melalui eksploitasi tubuh perempuan. Dinyatakan bahwa perempuan yang tereksploitasi tubuhnya adalah pihak yang tidak berdaya. Mereka dimanfaatkan oleh pihak lain yang lebih berkuasa, yaitu laki-laki. Dari 45 iklan yang diteliti Widyatama, hanya 3 iklan yang tidak menggunakan model perempuan. Inikah eksploitasi?

Subordinasi dan Eksploitasi sebagai Wacana

Di atas, ada bukti-bukti bahwa diskursus yang berkembang tentang persoalan gender dan media adalah bahwa media cenderung melanggengkan subordinasi perempuan. Media merepresentasikan perempuan sebagai pihak yang yang tereksploitasi, terdomestifikasi, dan akhirnya pihak yang tidak berdaya atau berkuasa.

Nampaknya, ketidakberdayaan perempuan merupakan wacana yang diproduksi kekuasaan. Dalam pemikiran Foucault, diskursus adalah tempat operasi kekuasaan. Kontrol kekuasaan berjalan melalui diskursus-diskursus. Dalam Sejarah Seksualitas, Foucault menulis, “Lagi pula wacana-wacana tentang seks itu tidak berlipat ganda di luar kekuasaan atau melawan kekuasaan; tetapi di dalam ruang kekuasaaan sendiri sebagai alat penerapan kekuasaan itu.” Wacana seks adalah pengendali perilaku seks.

Di sini, bisa dilihat bahwa subordinasi mungkin hanyalah sebuah wacana yang diproduksi kekuasaan untuk terus mempertahankan dirinya. ’Realitas subordinasi dan realitas perempuan tidak berdaya’ hanyalah rekaan dari pihak-pihak tertentu. Tentunya, boleh juga muncul kecurigaan terhadap para pencipta diskursus atau wacana subordinasi ini; mungkin mereka adalah agen-agen yang menyubordinasi perempuan secara tidak sadar. Mekanisme kekuasaan terkadang samar.

yang Seksi yang ber-Kuasa

Sebelum melakukan identifikasi terhadap siapa yang berkuasa, sudut pandang terhadap kekuasaan itu sendiri perlu ditegaskan. Sudut pandang kekuasaan yang dipakai dalam paper ini mengacu pada kekuasaan seperti yang dikonsepkan Michel Foucault. Iklan yang dianalisis adalah iklan televisi Indonesia. Setidaknya, 4 produk iklan merupakan eksklamasi bahwa yang seksi yang berkuasa. Iklan-iklan tersebut adalah iklan produk parfum Axe, Citra Lotion, Pond’s, dan Biotanical Body Shower.

Kekuasaan dalam Kacamata Foucault

Foucault membedakan kekuasaan dan Kekuasaan, dengan K huruf kapital. Kekuasaan, dengan K kapital, merujuk pada lembaga atau institusi dan perangkat yang menjamin kepatuhan warga negara dalam suatu negara tertentu. Yang dimaksud Foucault dengan kekuasaan adalah hubungan kekuatan yang ada dalam berbagai bidang.

Foucault memandang bahwa kekuasaan ini menyebar. “Kekuasaan ada di manamana; bukan karena mencakupi segalanya, namun karena datang dari mana-mana,”

tulisnya pada halaman 122 Sejarah Seksualitas.

Dalam tulisan ini, Kuasa – dengan K capital – juga dibedakan dari kekuasaan. Di sini, Kuasa mengacu pada daya atau pengaruh yang dimiliki seseorang terhadap orang lain.

Kuasa yang Seksi

Soley dan Reid, Reichert dan Carpenter, Widyatama, Pawlowski, dan yang terakhir Desmond menyepakati satu hal. Penggunaan gambar-gambar yang bernuansa seks (sexualized images) atau gambar seksi atau provocatif semakin banyak dalam iklan dari tahun 1800-an hingga 2008. Hampir semua atau sebagian besar gambar bernuansa seks atau seksi tersebut mengambil model perempuan.

Ironi terjadi dalam konteks wacana. Kuasa perempuan seakan hilang. Mungkin dihilangkan oleh kekuasaan. Mungkin, seperti dikatakan Foucault, inilah operasi dan mekanisme samar kekuasaan mempertahankan dirinya melalui wacana.

Dalam iklan, Kuasa perempuan mewujud dan bersumber dari tubuh. Terutama tubuh ini mengacu pada yang erotis, yang seksi, atau yang sensual. Cara kerja ini nampak jelas dalam 4 iklan di bawah ini.

a. Parfum Axe

Ada 2 versi iklan Axe yang akhir-akhir ini muncul di televisi. Pertama, versi penjual lolipop rasa ayam. Kedua, versi wanita mencatat nomor telepon dengan saos.

Dalam versi penjual lolipop rasa ayam, laki-laki penjual terpesona pada wanita yang mendatanginya dengan gerakan sensual. Sang Wanita melangkah sambil mengelus belahan dadanya; kancing baju putih yang dikenakannya berada pada posisi yang agak ke bawah. Mata pria dalam iklan tersebut terbelalak dan hanya tertuju pada sang wanita. Dalam versi wanita mencatat nomor telepon dengan saos, laki-laki juga bengong.

Kedua wanita dalam iklan tersebut tampil sensual melalui tatapan mata, gestur, dan pakaian. Laki-laki terbengong dan terpesona pada wanita yang sensual dan seksi tersebut.

b. Citra Lotion

Dalam iklan Citra Lotion versi Perempuan Cantik melintas di taman, ditampilkan wanita yang mengenakan pakaian tipis, terdiri dari rok putih dan baju coklat tanpa kerah dengan belahan dada melengkung agak rendah.

Selanjutnya, divisualisasikan bahwa ketika perempuan ini melintas di trotoar di depan sebuah gedung dengan pintu kaca, semua orang melihat perempuan tersebut dengan kagum. Seorang pengantar paket yang terkagum-kagum hamper menabrak gadis tersebut.

c. Pond’s

Iklan Pond’s ini adalah versi liontin hati. Ini merupakan iklan produk dengan cerita bersambung. Awalnya, Fiona ditinggalkan oleh kekasihnya. Laki-laki kekasih Fiona ini selanjutnya dikisahkan memiliki pacar baru. Mereka bertemu di jalan. Yang menarik diperhatikan di sini bahwa sang laki-laki yang meninggalkan Fiona ’lari’ kepada perempuan berbibir seksi dan cantik.

Setelah mengetahui bahwa kekasih barunya matrealistis, pasangan tersebut putus. Fiona yang telah memakai Pond’s tampak lebih putih dan cantik. Hal ini menarik perhatian mantan kekasihnya. Akhirnya, mantan kekasih tersebut kempali kepada Fiona yang cantik.

d. Biotanical Body Shower

Awalnya, ditampilkan seorang perempuan yang sedang mandi menggunakan Biotanical Body Shower. Selanjutnya, seting berpindah ke tempat pesta. Wanita ini mengenakan gaun indah dan tampil sangat cantik.

Orang-orang yang hadir dalam pesta tersebut, yang mayoritas pria, digambarkan terkagum-kagum oleh wanita ini. Mereka memandang wanita tersebut dengan penuh kekaguman. Sang Wanita berjalan dengan percaya diri dan begitu menikmati hal tersebut.

Dalam semua iklan di atas, yang cantik, yang seksi, yang sensual mampu memukau orang-orang. Di situlah letak Kuasa perempuan dalam iklan. Laki-laki, terutama dalam iklan Axe, kagum dan bengong; tidak bisa berbuat apa-apa karena terpesona pada yang seksi dan yang sensual. Di sini, tubuh bukanlah kelemahan perempuan. Dalam iklan-iklan tersebut, tubuh adalah sumber Kuasa perempuan.

Audre Lorde menyatakan bahwa yang erotis – yang seringkali identik dengan yang seksi dan sensual – sebagai kekuasaan (Lovaas dan Jenkins, 2007: 87). ”Ada berbagai jenis Kuasa, yang digunakan dan yang tidak digunakan, yang diakui dan yang diabaikan. Yang erotis adalah sumber dalam setiap diri kita yang terbentang di dalam planet spiritualitas dan perempuan, berakar kukuh dalam Kuasa dari perasaan yang tidak terekspresikan dan tak terkenali,” tulisnya.

Kekuasaan mengontrol Kuasa ini melalui wacana. Yang erotis dalam wacana disebut sebagai pornografi. Yang erotis – bila dirunut dari akar kata Yunani-nya Eros sebenarnya merupakan personifikasi cinta – dibedakan secara dikotomis dengan yang spiritual (Lorde dalam Lovaas dan Jenkins, 2007:89). Pornografi menjadi kosakata yang membungkam Kuasa yang seksi, sensual, cantik, dan erotis.

EPILOG

”Salah satu pergeseran utama dalam dunia periklanan selama satu decade terakhir adalah pergeseran potret wanita sebagai obyek seksual (sexual objects) kepada potret wanita sebagai subyek aktif yang didambakan secara seksual,” tulis Rosalind Gill (2007:89). Bila pergeseran ini terus berlanjut, Kuasa perempuan akan semakin kuat dalam iklan dan dalam (hiper)’realitas’ masyarakat konsumsi.

Yang seksi yang ber-Kuasa. Hal tersebut nampaknya akan bekerja dalam masyarakat dimana tubuh telah menjadi komoditas. Sumber Kuasa yang seksi adalah tubuh; cara kerjanya adalah melalui pesona dan penebaran kekaguman.


Catatan akhir

[1] Ingatan pada kedua iklan ini muncul setelah membaca deskripsi iklan yang dibuat Widyatama, Rendra.

2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Yogyakarta: Media Pressindo. Halaman 197-198 dan 208-209.

[2] Judul sub bagian ini diinspirasi oleh sub bab dalam buku Ingin Tahu Sejarah Seksualitas karya Michel

Foucault yang bertajuk Hipotesis Represi. Bagian tersebut merupakan ‘sangkalan’ bahwa seksualitas

benar-benar direpresi.

REFERENSI

A. Buku

  • Featherstone, Mike, Mike Hepworth, dan Bryan S. Turner (Eds). 1991. The Body, Social Process and Cultural Theory. London: Sage Publication.
  • Foucault, Michel. 2008. Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Gauntlett, David. 2002. Media, Gender, and Identity. London: Routledge.
  • Gill, Rosalind. 2007. Gender and the Media. Cambridge: Polity Press.
  • Hall, Stuart (Ed). 1997. Representation, Cultural Representation and Signigying Practices. London: Sage Publication.
  • Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS.
  • Kellner, Douglas (Ed). 1994. Baudrillard A Critical Readers. Cambridge: Basil Blackwell.
  • Lovaas, Karen E. dan Mercilee M. Jenkins (Eds). 2007. Sexualities & Communication in Everyday Life A Reader. London: Sage Publication.
  • Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
  • Siregar, Ashadi, Rondang Pasaribu, dan Ismay Prihstuti (Eds). 2000. Eksplorasi Gender dalam Ranah Jurnalisme dan Hiburan. Yogyakarta: LP3Y.
  • Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Yogyakarta: Media Pressindo.

B. Website

Read the rest of this entry »





artikel

26 02 2010

Transformasi dan Dialektika Budaya di Indonesia[*]

Oleh Ryan F

Pengantar: Agama atau Kepercayaan Tradisional di Indonesia

Masyarakat Indonesia sudah memiliki agama atau kepercayaan-kepercayaan tradisional, jauh sebelum berkembangnya agama Budha, Hindu serta agama samawi seperti Islam dan Kristen di Nusantara. Kehidupan religius masyarakat Indonesia di masa lalu tidak hanya berbentuk animisme dan dinamisme karena peradaban yang cukup maju mampu menciptakan konsep-konsep religi yang adiluhung. Konsep relasi antara manusia dengan Sang Khalik yang bersifat imanen dan transenden, sudah diartikulasikan oleh masyarakat lewat berbagai tradisi yang menggabungkan antara kehidupan nyata dan dimensi metafisika.

Keyakinan tradisional mampu menahan hegemoni agama-agama besar karena sangat mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga eksistensinya dapat dipertahankan hingga kini. Eksistensi dari keyakinan tradisional termanifeskan lewat berbagai bentuk, salah satunya adalah praktek atau ritual yang bersifat mistik. Misalnya agama Kejawen yang masih dianut oleh sebagian masyarakat Jawa masih mengenal praktek-praktek simbolik religi, seperti pemberian sesajen bagi Sing Mbaureksa, Mbahe, Danyang di pohon-pohon besar dan berumur tua, atau tempat-tempat keramat (wingit) lainnya (Herusutato 2001:90)[1]. Tindakan-tindakan simbolik ini dimaksud agar kehidupan dari pemuja tersebut menjadi tenteram dan terhindar dari malapetaka. Tujuan dari pemujaan ini pada dasarnya sama dengan tujuan pemujaan yang terdapat dalam agama-agama yang ada di Indonesia, namun yang membedakannya adalah tata cara dan objek yang dipujanya.

Keyakinan-keyakinan tradisional tidak hanya termanifeskan dalam bentuk praktek-praktek magis, namun juga ditranformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Transformasi keyakinan tradisional dalam kehidupan sehari-hari ini membantu menciptakan keseimbangan atau keselarasan dalam tata kehidupan masyarakat. Kita bisa melihat nilai-nilai yang dikembangkan oleh agama tradisional, seperti konsep rukun dalam masyarakat Jawa yang menekan egosentris demi tatanan masyarakat yang solid.[2]

Keyakinan-keyakinan tradisonal, baik dalam bentuk nilai maupun praktek magis ini menjadi unsur budaya yang inhern dalam sistem kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, meskipun telah mengalami modernisasi yang identik dengan rasionalitas. Akan tetapi, manifestasi kepercayaan-kepercayaan tradisonal di Indonesia sudah mengalami transformasi dari praktek-praktek kolektif yang mengandung konsep kosmologi menjadi “alat analisis” bagi masyarakat untuk memahami berbagai problem sosial sekaligus menjadi komoditas bagi individu, kelompok bahkan industri.

Tulisan ini ingin mengaitkan proses transformasi kepercayaan tradisional dengan modernisasi kehidupan masyarakat Indonesia dalam bentuk proses dialektika. Penulis juga akan menggunakan konsep antagonisme kebudayaan yang dikemukakan oleh Georg Simmel untuk memahami fenomena sosial ini.

Modernitas di Indonesia

Berkembangnya proses modernitas di Indonesia sejak kemerdekaan, perlahan-perlahan mulai mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Banyak orang berasumsi bahwa proses modernisasi, khususnya di Indonesia, dapat secara langsung diamati lewat geliat kehidupan masyarakat perkotaan. Proses pembangunan infrastruktur yang berkembang pesat, pertumbuhan moda-moda tranportasi yang memenuhi jalanan, menjamurnya industri hiburan yang bergeliat di malam hari, atau perkembangan fashion yang selalu berubah-berubah mengikuti perkembangan dunia, selalu dianggap menjadi indikator modernisasi di Indonesia.

Modernitas ditunjang oleh tiga faktor, (1) Kapitalisme dengan teknik modern yang memungkinkan industrilalisasi, (2) penemuan subyektifitas manusia modern, dan (3) Rasionalisme (Widyanta, 2002:10). Berkaitan dengan faktor-faktor modernitas tersebut, maka secara normatif ketiga faktor tersebut sudah menjadi spirit perkembangan modernitas di Indonesia yang mengandalkan rasionalitas ekonomi sebagai landasan bagi perkembangan industrialisasi. Akan tetapi, Kapitalisme dan Rasionalitas yang mendorong industrialisasi juga memiliki sisi destruktif karena kondusif bagi terciptanya individualisasi, fragmentasi, alienasi (Entfremdung), kesesatan, penghancuran kreatifitas, pergeseran tak terduga dalam metode-metode produksi dan konsumsi serta pergeseran pengalaman tentang ruang dan waktu (Hikmat Budiman 1997:57).

Penulis tidak ingin membahas permasalahan modernitas secara utuh, namun ingin melihat ide rasionalitas yang diusung oleh modernitas dalam konteks masyarakat Indonesia. Pada tataran praksis, adanya pemahaman yang tidak komprehensif karena indikator modernitas sering dilihat sebatas proses tranformasi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, atau dari sistem feodal menjadi sistem Kapitalis yang berawal dari revolusi industri pada abad XIX di Inggris. Rasionalitas yang diusung oleh modernisasi sebagai kritikan terhadap dogma-dogma agama pada abad kegelapan dan menandai bangkitnya masa pencerahan (aufklarung) tidak termanifeskan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan hal itu, maka pertanyaannya adalah apakah perubahan sosial yang terjadi di Indonesia (transformasi dari masyarakat agraris menjadi industri atau sistem feodal menjadi Kapitalis) karena adanya modernisasi sudah membentuk cara berpikir masyarakat yang rasional?

Pada dasarnya perubahan sosial di Indonesia paska kemerdekaan memang sama dengan perubahan sosial yang terjadi di Inggris sejak bergulirnya revolusi industri, namun situasi dan kondisi sosialnya sangat jauh berbeda. Perubahan sosial di Inggris atau Eropa pada umumnya tidak terjadi dalam kurun waktu yang relatif pendek, namun berlangsung lama sejak abad pencerahan dimulai. Sebelum terjadinya revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan yang mengandalkan rasionalitas sebagai input bagi paradigma baru sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Eropa selama berabad-abad, sehingga output berupa inovasi-inovasi yang dikembangkan menjadi landasan kuat untuk menopang perkembangan awal industrialisasi. Berbeda dengan masyarakat Eropa, proses industrialisasi di Indonesia tidak melalui proses dialektika yang panjang, namun hanya mengadopsi konsep yang sudah berkembang di dunia. Industrialisasi di Indonesia memang menerapkan rasionalitas ekonomi, namun dalam kehidupan sehari-hari dualisme cara berpikir yang modern dan tradisional sulit untuk dipisahkan.

Antagonisme Kebudayaan Indonesia

Masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan, yang secara fisik paling banyak menikmati perkembangan modernitas masih tak dapat dipisahkan dengan cara berpikir dan bertindak yang tradisional, seperti kepercayaan terhadap mitos, hal-hal mistik, magis atau supranatural tanpa melalui pembuktian ilmiah. Kita semua mengetahui bahwa wacana-wacana mistik tentang pemerintahan SBY-JK sering dikaitkan dengan bencana-bencana alam yang sering terjadi. Begitu juga eksistensi paranormal seperti Ki Gendeng Pamungkas atau Ki Joko Bodo muncul di tengah arus modernisasi, bahkan menjadi bagian dari modernisasi itu sendiri lewat iklan-iklan sms di TV. Kemampuan supranatural paranormal di Indonesia tetap menjadi kiblat para pejabat yang tentu saja memiliki pendidikan tinggi, bahkan menjadi salah satu strategi BIN (Badan Intelijen Indonesia) untuk membunuh Munir.

Pada titik ini kita sudah bisa melihat transformasi kepercayaan tradisional masyarakat Indonesia dari praktek-praktek kolektif yang bernuansa religius menjadi “alat analisis” bagi masyarakat untuk memahami berbagai problem sosial dan mulai menjadi komoditas bagi individu dan kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Fakta bahwa perilaku mistik masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia ini juga menjadi daya tarik bagi industri hiburan untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini terlihat dari banyaknya produksi film-film horor beberapa tahun terakhir, juga tayangan reality show bernuansa mistik yang ramai menghiasi layar kaca beberapa tahun lalu, atau yang teraktual berupa petuah dari Ki Joko Bodo dan paranormal lainnya lewat sms.

Pertumbuhan industri hiburan yang mengandalkan perilaku mistik masyarakat Indonesia seakan mendobrak budaya modern dengan ide rasionalitas yang sudah terbentuk. Fenomena ini yang disebut Simmel sebagai antagonisme kebudayaan atau yang dikonsepkannya sebagai perlawanan (dialektika) antara bentuk dan hidup (Widyanta 2002:122). Bentuk diuraikan oleh Simmel sebagai kebudayaan yang sudah menjadi sistem sosial dan hidup dimaknai Simmel sebagi potensi kreatif (creative potential) pada tingkat individu dan sebagai kekuatan produktif dari kebudayaan. Hidup juga dilihatnya sebagai kekuatan penggerak yang utama dari proses perubahan kebudayaan.

Hubungan antara bentuk (sistem kebudayaan) dan hidup (kreatifitas kebudayaan) terlekat pada suatu sifat mutual-interdepensi (Widyanta 2002:123). Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan karena saling bergantung satu sama lain seperti konsep hubungan individu dan masyarakat. Masing-masing kutub sangat tergantung pada perimbangan antagonistiknya. Keberlangsungan bentuk-bentuk kebudayaan tergantung pada kekuatan-kekuatan penciptaannya, begitu pun sebaliknya. Simmel berasumsi bahwa pada saat sistem kebudayaan terbentuk, maka proses destruksinya pun dimulai saat itu juga. Secara metaforis, proses perubahan kebudayaan ini dinamakannya sebagai proses death dan rebirth atau kematian dan kelahiran kembali dan sebaliknya (Widyanto 2002:124).

Simmel berasumsi bahwa terdapat oposisi laten di dalam kebudayaan, yaitu antara kekuatan-kekuatan penciptaan (creative forces) dan kebudayaan sebagai sistem (cultural system). Kekuatan-kekuatan penciptaan ini berkembang lebih cepat ketimbang sistem kebudayaan yang telah tercipta. Sistem kebudayaan akan semakin tertinggal jauh dari kekuatan penciptaan, sehingga akan menjadi tidak fleksibel ketika dicoba untuk diterapkan, maka makin lama sistem budaya yang sudah mapan tersebut mati dan digantikan oleh sistem budaya baru yang dilahirkan oleh kekuatan-kekuatan penciptaan tersebut atau terjadi kolaborasi antara keduanya.

Berkaitan dengan antagonisme kebudayan Indonesia (sistem budaya modern versus industri hiburan bernuansa mistik) maka secara eksplisit dapat dilihat hubungan keduanya memang bersifat mutual-interdepensi karena industri yang merupakan produk modernitas dapat berkolaborasi dengan perilaku mistik yang bertransformasi dari kepercayaan tradisional masyarakat Indonesia. Industri hiburan yang bernuasa mistik merupakan sintesa dari proses dialektika antara tesis modernitas dan antitesis berupa perilaku mistik masyarakat. Dengan demikian maka proses death dan rebirth yang dikemukakan oleh Simmel terjadi dalam konteks ini. Rasionalitas sebagai bagian dari sistem budaya modern digantikan dengan sistem budaya yang mengelaborasi antara rasionalitas (ekonomi) dan perilaku mistik menjadi satu sistem budaya yang baru.

Uraian yang penulis paparkan di atas pada intinya ingin menunjukkan bahwa sistem budaya Indonesia, dalam konteks ini, memiliki karateristik karena merupakan bentuk dialektika antara modernitas yang mengusung rasionalitas dan perilaku mistik masyarakat, terkadang sulit dijangkau oleh akal sehat, yang bertransformasi dari kepercayaan tradisional. Proses dialektika antara keduanya dapat menciptakan sebuah sistem budaya baru yaitu industri hiburan yang bernuansa mistik. Hal ini bukan merupakan ironi, namun menjadi bagian dari proses akulturasi di Indonesia yang sudah berlangsung sejak lama.


Catatan akhir

[1] Selain Kejawen, ada juga agama atau kepercayaan tradisonal lain, seperti Merapu yang sudah dianut oleh masyarakat Sumba, NTT, jauh sebelum masuknya agama Kristen, bahkan hingga kini masih mengakar dalam kehidupan masyarakat setempat. Selain menjaga ritual-ritual magis, sebagian masyarakat Sumba masih menjadikan Merapu sebagai panduan hidup sehari-hari.

[2] Baca Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981, Hildred Geertz,, Keluarga Jawa, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, Patrick Guinness, Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung, Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat, 2004, dan Franz Magnis Suseno, Kerukunan dan Konflik sekitar Paham Jawa tentang Manusia sebagai Makhluk Sosial, Yogyakarta: YIPK Paninggalan Lembaga Javanologi, 1985.


[*] (Ide tulisan ini berdasarkan makalah mata kuliah Sosiologi Budaya tahun 2004 karya penulis yang berjudul Tayangan Misteri (Mistik/Supranatural) Dalam Kaitannya dengan Budaya Modern Masyarakat Indonesia, yang sudah direvisi secukupnya).

Referensi

Budiman, Hikmat, 1997, Pembunuhan yang Selalu Gagal: Modernisme dan Rasionalitas menurut Dabiel Bell, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Geertz, Clifford, 1981, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Penterjemah Aswab Mahasin, Penyunting Bur Rusmanto, Kata Pengantar Parsudi Suparlan, Jakarta: Pustaka Jaya.

Geertz, Hildred, 1985, Keluarga Jawa, Kata Sambutan Koentjaraningrat, Jakarta: Grafiti Pers.

Guinness, Patrick, 2004, Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung, Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat.

Herusutato, Budiono, 2001, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: PT.Hanindita Graha Widia.

Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.

Magnis-Suseno, Franz, 1985, Kerukunan dan Konflik sekitar Paham Jawa tentang Manusia sebagai Makhluk Sosial, Yogyakarta: YIPK Paninggalan Lembaga Javanologi.

Widyanta, AB, 2002, Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel, Yogyakarta: CPRS





opini

26 02 2010

Patutkah Pekerja Infotainment disebut Jurnalis?

Oleh Fredek E Lodar

Sejak dijaminnya kebebasan pers dalam undang-undang Pers Nomor 40/1999, para pekerja media laksana burung yang baru lepas dari sangkar. Dengan berani dan tajam menyorot isu-isu sensitif ke permukaan publik. Kasus-kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan melibatkan para petinggi negara bukan lagi hal yang perlu ditakuti seperti pada masa Orde Baru berkuasa. Kini dengan adanya UU Pers, pers mempunyai  hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi secara transparan dan bertanggungjawab kepada publik tanpa dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Aksi para jurnalis dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum merupakan hal terpuji karena sejatinya pers memiliki tanggungjawab moral untuk memberitakan dinamika serta gejolak yang sedang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kepada publik. Dengan demikian pers dan jajaran jurnalis di dalamnya berperan sebagai salah satu agen dalam struktur bangunan demokrasi dalam mengontrol rezim penguasa sebab kekuasaan cenderung korup.

Bagaimana dengan Pekerja Infotainment televisi, apakah sah disebut jurnalis?

Pada umumnya pekerja media atau jurnalis didefinisikan sebagai orang yang kegiatannya mengumpulkan bahan berita, menyusun dan kemudian memberitakannya lewat berbagai transmisi seperti  televisi, radio, surat kabar dan media  lainnya.  Namun apakah semua pekerja media bisa disebut sebagai jurnalis?

Berdasarkan definisi di atas, orang yang memberitakan kasus cicak versus buaya, Prita Mulyasari dan skandal Bank Century adalah para jurnalis. Lantas bagaimana dengan pekerja infotainment? Mereka juga melakukan kegiatan yang sama yaitu, mengumpulkan bahan berita, menyusun dan kemudian memberitakan ke pada khalayak yang sifatnya  entertain.

Perseteruan Luna Maya di dunia maya dengan pekerja infotaimen mengakibatkan dia dituntut dan dijerat dengan pasal UU ITE (Informasi dan Transasksi Elektronik), tentang pencemaran nama baik. Kasus itu mencuatkan status pekerja infotainmen sebagai jurnalis mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan, sebab dinilai  pekerja infotainment justru telah melakukan pelanggaran terhadap etika profesi jurnalistik.

Pro-Kontra

UU Pers 40/1999 ayat 3 menyebutkan bahwa Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pekerja infotainmen bisa dikategorikan melakukan fungsi hiburan. Namun, apakah berita tentang perceraian, dan perselingkuhan bisa disebut sebagai hiburan? Untuk itu definisi hiburan sendiri harus dijabarkan secara komprehensif dan diberi batasan sehingga ada patokan yang dijadikan sebagai kontrol atas berbagai acara hiburan yang tayang.

Berikut ini ada beberapa kutipan perdebatan wacana tentang keabsahan pekerja infotainmen sebagi jurnalis.   Menurut MUI, format penyajian  yang  tidak edukatif dan tidak bermanfaat bagi kepentingan umum, untuk itulah akhirnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk tidak menyaksikan acara infotaimen? “Menteri Agama Surya Darmali pun mendukung fatwa haram tersebut. Katanya tidak ada satupun agama yang menghalalkan pemberitaan buruk orang lain untuk dikonsumsi publik.”[1] Untuk itu perlu dilakukan penertiban terhadap format materi infotainment yang  secara normatif sebenarnya tidak layak dikonsumsi. Ketidaklayakan itu dikarenakan infotainment pada umumnya hanya berisi gosip dan pengeksposan terhadap kehidupan pribadi yang tak jarang berujung pada fitnah.

Menurut Triyono Lukmantoro, Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang mengemukakan bahwa “Para pekerja tayangan infotainment tidak layak disebut sebagai wartawan atau jurnalis. Selama ini pekerja infotainment hanya menonjolkan gosip-gosip tanpa didasari fakta sesungguhnya, karena tidak sesuai dengan fakta dan  para pekerja infotainment justru menganggu pribadi seseorang. Selain itu, hasil dari pemberitaan infotainment tidak ada kepentingan untuk publik. Jadi tidak ada manfaatnya, kata pengajar filsafat dan etika ini”[2].

Pendapat yang berbeda datang dari Direktur Utama Program Tayangan Cek and Ricek yang juga anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ilham Bintang. Ilham mengaku tak terima awak infotainment tidak diakui sebagai wartawan hanya lantaran satu atau dua kasus pelanggaran kode etik. Menurut Ilham, awak infotainmen adalah wartawan yang diakui PWI karena praktik kerja mereka adalah praktik kerja wartawan[3]

Dikarenakan adanya pro-kontrak terhadap status pekerja infotainment dalam ruang pers, mereka akhirnya berada diwilayah abu-abu. Pada prakteknya, mereka telah melakukan proses kegiatan jurnalistik secara profesional, namun secara substansial, hal-hal yang diberitakan bertolak belakang dengan etika jurnalistik itu sendiri.

Dalam ketentuan umum undang-undang Pers Nomor 40/1999,  pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia[4].

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers sudah seharusnya menghormati hak asasi setiap orang. Ada terdapat salah satu pasal yang menarik dalam undang-undang pers yang sering ditabrak oleh para pekerja infotainment. Pasal 5 ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.[5] Pasal ini seharusnya menjadi dasar pijakan bagi semua pekerja media, kususnya pekerja infotainment agar dalam melakukan kegiatan jurnalistik, bobot informasi yang disampaikan tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan nilai-nilai sosial, sehingga  memiliki manfaat positif bagi  khalayak.

Berada dalam ketidak pastian sungguh  tidak mengenakkan. Status pekerja infotainment yang abu-abu sebaiknya dijadikan satu warna, hitam ataukah putih. Dewan pers dan lembaga yang berkompeten lainnya sebaiknya segera memetakan dan menegakkan aturan  secara tegas untuk mendudukkan status pekerja infotaimen, apakah putih  disebut sebagai jurnalis ataukah sebaliknya  hitam!

Letak kontroversi terletak pada substansi materi yang diberitakan. Sejauh masih mengekspos privasi  yang secara normatif  tidak layak dipublikasikan, pekerja infotaimen tidak layak 100 %  disebut sebagai jurnalis profesional.

Fredek E. Lodar


[1] Dikutip dari Kedaulatan Rakyat  pada tanggal, 27 Desember 2009. Infotaimen di Televisi Kebablasan, PBNU Keluarkan Fatwa Haram.

[2] Dikutip dari Tempo Interaktif pada tanggal 21 Desember 2009. Para Pekerja Infotaimen Tak Layak disebut wartawan.

[3] Dikutip dari portal Metrotv news.com. pada tanggal, 21 Desember 2009 Kasus Luna Menyeret Keabsahan Pekerja Infotainment sebagai Jurnalis.

[4] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

[5] Ibid.





opini

26 02 2010

Budaya Populer sebagai Ekspresi Perlawanan

Oleh Andi William Inggita

Secara sederhana budaya popular atau sering disebut budaya pop adalah apapun yang terjadi di sekeliling kita setiap harinya. Apakah itu pakaian, film, musik, makanan, semuanya termasuk bagian dari kebudayaan populer.

Baik, sebelum beranjak lebih jauh, mari kita bahas definisinya satu persatu. Definisi dari populer adalah apa yang diterima, disukai, dan disetujui oleh masyarakat banyak. Sedangkan definisi budaya adalah satu pola yang merupakan kesatuan dari pengetahuan, kepercayaan, serta kebiasaan yang tergantung kepada kemampuan manusia untuk belajar dan menyebarkannya ke generasi selanjutnya. Selain itu, budaya juga dapat diartikan sebagai kebiasaan dari kepercayaan, tatanan sosial dan kebiasaan dari kelompok ras, kepercayaan atau kelompok sosial.

Awalnya budaya populer adalah budaya rakyat (folk culture) yang bersifat massal, terbuka. Sebagian juga menyebutnya dengan budaya rendah (low culture) karena muncul dari bawah (masyarakat bawah). Sebenarnya, budaya populer dulunya tak berhubungan dengan budaya tinggi atau high culture. Namun kini, keduanya telah menyatu dan melahirkan sebuah buadaya massa yang komersial. Celakanya, masyarakat banyak kepincut dengan budaya populer yang sering kali tampil secara menarik dan praktis.

Budaya populer ini seringkali dalam bentuk instan, dangkal, egosentris, dan berorientasi pasar yang membuatnya efektif dan efisien. Kekuatan budaya populerpun semakin kuat terasa karena budaya populer berhasil masuk ke segala bidang seperti ekonomi, agama dan politik serta dapat menentukan ke arah mana tatanan masyarakat akan mengalami perubahan. Salah satu contohnya yaitu lagu-lagu gereja yang terpengaruh dengan budaya populer atau tata cara peribadatan yang dimodernisasikan sehingga tata cara yang lama mulai dihilangkan karena masyarakat mulai bergerak ke bentuk budaya yang baru dan menghilangkan budaya yang baku.

Eskpresi Perlawanan

Perkembangan sosial saat ini pada dasarnya telah melampaui modernitas (yang ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa) menuju pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan di seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi informasi. Munculnya gerakan anak muda yang menginginkan adanya perubahan seringkali diekspresikan dalam sejumlah tindakan yang secara massif membentuk kebudayaan baru (subkultur). Sebut saja, muculnya musik rock, komunitas punk, komunitas tato, wanita berjilbab yang mengenakan celana jins, bahkan sejumlah aktivitas yang cenderung mengarah pada tindakan kriminalpun sering kali menggejala menjadi sebuah ekspresi perlawanan terhadap kemapanan.

Munculnya komunitas punk juga merupakan ekspresi perlawanan terhadap suatu kemapanan. Punk merupakan subkultur yang lahir di London, Inggris. Awalnya, komunitas punk selalu dikacaukan golongan skinhead. Punk juga dikenal sebagai gerakan anak muda kelas pekerja di Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan, kemerosotan moral para tokoh politik, lalu memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Dan kini, Punk dikenal sebagai fashion, seperti potongan rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, dan pemabuk berbahaya.

Demikian munculnya para pecinta tato di sejumlah negara (termasuk Indonesia) adalah salah satu bentuk ekspresi perlawanan terhadap adanya kemapanan secara normatif. Padahal bagi orang Mentawai, tato merupakan roh kehidupan, salah satunya adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Bagi masyarakat Mentawai, tato berfungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Dalam masyarakat Dayak (Dayak Iban dan Dayak Kayan), tatto wujud penghormatan kepada leluhur, dan ungkapan kepada Tuhan terkait dengan kosmologi Dayak.

Tato sebagai budaya tanding (counter culture) yang dikembangkan generasi muda melawan pengawasan kelompok dominan (orang tua, kalangan elite masyarakat, norma sosial yang ketat, dll). Pengaruh media massa menampilkan artis-artis di televisi, terutama rocker-rocker Barat seperti Guns n’ Roses, Motley Crue, Red Hot Chili Pepper, dll. menjadi idola para fansnya dan menjadi sumber inspirasi untuk menunjukkan jati diri. Sehingga tidak heran jika segala sesuatu yang dilakukan sang artis menjadi daya tartik yang akan terus menerus ditur oleh para penggemarnya . Sejak tingkah laku, pakaian yang dikenal, bahkan cara menyikat gigi pun akan memberi sihir sakti yang akan diikuti.

Inilah gambaran kebudayaan populer (popular culture) yang kemudian menciptakan dialektika antara homogenisasi (penyeragaman) dan heterogenisasi (keragaman). Pertama, kebudayaan populer menawarkan keanekaragaman dan perbedaan ketika ia diinterpretasi ulang oleh masyarakat yang berbeda di lain tempat. Kedua, kebudaya populer dipandang sebagai sekumpulan genre, teks, citra yang bermacam-macam dan bervariasi yang dapat dijumpai dalam berbagai media, sehingga sukar kiranya dapat dipahami dalam kriteria homogenitas dan standardisasi baku.