:sociology event: “Kultur Pakistan dengan Kajian Metode Penelitian”

29 07 2009

“Kultur Pakistan dengan Kajian Metode Penelitian”

Sociology Study Club (SSC) kembali mengadakan forum. Setelah dua minggu lalu menggagas tema “MEDIA KOMUNITAS : Radio Komunitas Memperkuat Suara “Akar Rumput””, SSC pada hari Sabtu, 1 Maret 2008 dengan format sedikit berbeda, mendatangkan nara sumber dari kalangan sendiri yaitu Bapak Yakobus Kunhariwibowo, MA atau yang biasa kita sebut Pak Kun. Pengajar mata kuliah Organisasi & Manajemen Penelitian dan Studi Urban & Regional pada program studi Sosiologi ini, merasa senang dan terbuka untuk berbagi pengalaman pada saat melakukan penelitian selama 9 (sembilan) bulan di negara Pakistan tepatnya di Kota Karachi. Melalui SSC  sebagai wadah untuk berdiskusi dan mengeluarkan pendapat.

Setelah acara dibuka oleh Khrisdemon Sallata (Kyq) sebagai moderator, pembicara mulai menceritakan perasaan pertama kali yang dialami olehnya yaitu culture shock. Istilah culture shock mengacu pada kegelisahan dan perasaan (kaget, bingung dan sejenisnya) ketika seseorang berada dalam lingkungan sosial dan budaya yang berbeda. Pengalaman culture shock muncul karena ketidaknyamanan fisik dan emosional. Keadaan ini merupakan kombinasi dari perasaan muak (secara moral dan estetikal), terhadap aspek-aspek kebudayaan yang baru dikunjunginya yang merupakan pengalaman cross-cultural di mana seseorang mengalami kesulitan untuk membaur pada kebudayaan baru.[1]

Pakistan : Negara dengan 97% warga beragama Islam

Pakistan adalah negara republik Islam yang lahir pada 14 Agustus 1947. Pakistan didirikan pada saat puncak perlawanan kaum Muslim di kawasan Asia Selatan yang berusaha memisahkan diri dari negerinya. Negara yang terletak di Asia Barat, bertetangga dengan Iran dan Afganistan di barat, Rusia dan Cina di Utara dan India di sebelah timur dan tenggara merupakan negara yang 97% penduduknya beragama Islam. Adapun Pak Kun sebagai seorang yang non-muslim mengalami apa yang disebutnya sebagai “sentimen religius” pada saat berada di fasilitas publik seperti di bus. Selain menanyakan nama dan asal negara, masyarakat di Pakistan akan menanyakan agama yang dianut. Bila anda menjawab agama Islam, maka anda akan diperlakukan sebagai saudara, “So, we are brother”, ungkapnya dan anda akan diminta untuk menceritakan mengenai religiositas orang Indonesia. Tetapi bila anda menjawab dengan agama non-islam, anda tidak lagi diajak berbicara atau orang tersebut langsung membuang muka. Inilah yang Pak Kun sebut sebagai “sentimen religius”. Keberadaan fasilitas untuk minoritas agama lain, tercermin pada pemerintah yang menyediakan lahan dan bangunan namun pada pemuka agama seperti Pastor dilarang mengkristenkan orang muslim yang telah melakukan konversi.

Mayoritas warga muslim terlihat dari banyaknya madrasa (pesantren) dan sekte-sekte yang menimbulkan konflik agama, etnis bahkan partai politik.

Pada saat bulan Ramadhan, banyak orang menyediakan makanan dan minuman di pinggir jalan yang diperuntukkan bagi musafir yang belum tiba dirumahnya pada saat buka puasa dan restoran tidak melayani makan malam (dine in). Hari raya keagamaan seperti Idul Adha dirayakan dengan penuh suka cita, massal dan agak jorok. Setelah memotong qurban, sisa-sisa kotoran (jeroan) maupun darah yang berceceran dibiarkan begitu saja.

Perempuan di Sektor Privat

Keberadaan perempuan pada fasilitas sosial dan ekonomi tidak menampakkan dirinya. Sektor perekonomian seperti di pasar tradisional, para pelaku ekonominya adalah laki-laki, mayoritas perempuan biasanya mengurus rumah dan mengurus anak. Dalam kehidupan sosial di ruang-ruang publik, perempuan harus ditemani oleh muhrimnya atau keluarganya. Di rumah makan misalnya, terbagi dalam dua ruangan yaitu man’s room dan family’s room. Di family’s room inilah perempuan duduk bersama-sama dengan keluarganya. Perempuan tidak bisa disandingkan dan sangat tergantung pada laki-laki dalam ruang publik. Diruang publik lainnya seperti di bus dan di perpustakaan, perempuan dipisahkan oleh terali besi. Begitu juga dengan kehidupan bersosialisasi, perempuan tidak boleh berbicara dengan orang asing seperti dengan pembicara, pembicara harus membawa serta istri untuk melakukan wawancara.

“Keamanan dan Kepercayaan itu Mahal”

Ungkapan dari pembicara itu tidak main-main, mengingat bahwa negara Pakistan sendiri terus dibayang-bayangi oleh teror bom. Pertama kali menginjakkan kaki di Pakistan, ternyata lima hari sebelumnya telah terjadi kerusuhan akibat masalah politik. Host Institution Universitas Karachi menyarankan untuk selalu berjaga-jaga demi keselamatan diri, pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Pakistan pun tidak memberikan jaminan keselamatan.

Pembicara mulai merasa tidak nyaman ketika banyak orang berkeliaran dengan membawa senjata. Di toko roti, penjaga / security membawa senjata hingga 2 senjata setiap satu orang. Polisi membawa senapan AK-47 (Avtomat Kalashnikova 1947- senapan serbu dari Rusia yang digunakan negara Blok Timur pada masa perang dingin). Kepemilikan senjata menurut pembicara mudah didapat, selain mudah didapat dan mengurus perijinan dengan cepat, senjata di Pakistan dijual dengan harga murah. “Pistol produksi Cina bisa didapat dengan harga Rp. 500 rb dan dengan hanya Rp 7 juta, anda bisa membawa pulang AK-47” ungkap Pak Kun. Kemudahan itu, menurutnya merupakan suatu bentuk ketakutan tersendiri karena semua orang membawa senjata, orang yang merampas telepon selular / hp pun ditodongkan senjata. Mengerikan!

Naluri Curiosity, Naluri Peneliti

Sebagai peneliti yang melakukan penelitian di daerah konflik, perasaan takut dan tidak aman di negara tersebut sudah diperhitungkan sebelumnya dengan matang oleh pembicara. Ketika rasa tidak aman mulai menggrogoti, naluri curiosity berkecamuk di pikiran, apakah akan terus melakukan penelitian (dengan taruhan nyawa) atau pulang ke tanah Air (dengan hati tenang namun naluri itu tidak berhenti bertanya), bayangkan selama sembilan bulan! Andreu sebagai salah satu pendengar dalam acara tersebut berkata “saya tidak akan hidup disana kurang dari sebulan!”.

Saya jadi ingat sewaktu saya kuliah metode penelitian sosial bahwa perasaan pertama kali untuk mengadakan penelitian adalah rasa keingintahuan yang tinggi. Tanpanya, penelitian tidak bisa berjalan. Menutup tulisan ini, Pramudya Panji sebagai Koordinator SSC memberi pesan dan kesan bahwa “SSC kali ini formatnya santai, mahasiswa bebas berpendapat dan tidak ada jarak antara dosen dengan mahasiswa. Untuk kedepannya SSC bisa berkesinambungan dan keterlibatan mahasiswa bisa bertambah”. Ya, semoga SSC makin progresif!.

oleh:

Anka Yolanda


[1] Dikutip dari makalah berjudul “Culture Shock di lokasi Penelitian Baru” oleh Y. Kunhariwibowo, hal 1.


Actions

Information

Leave a comment