Pustaka

26 02 2010

Judul: Berhala itu Bernama Budaya Pop

Penulis: Ridho “Bukan” Rhoma

Penerbit: Leutika

Tebal: ix + 91 Halaman

Tahun: 2009

Fetisisme Budaya Populer

Budaya sama seperti teknologi –begitu Herbert Marcuse pernah mengibaratkan– mampu menciptakan cakrawala pemikiran dan tindakan manusia.

Karena itu, Herbert Marcuse atau lebih luas Frankfrut School, aliran pemikiran yang mempunyai keprihatinan mendalam atas manipulasi teknokrasi modern di mana Herbert Marcuse adalah salah satu anggotanya, gelisah akan kontrol “industri budaya” yang menurut mereka mampu memanipulasi kesadaran dan mengarahkan tindakan manusia.

Di Indonesia kontemporer, lanskap budaya populer yang ditopang industri budaya seperti ‘dipotret’ Idi Subandy Ibrahim (2007), telah mengalami perluasan yang signifikan. Meminjam istilah Hikmat Budiman, budaya populer telah menjadi semacam ‘lubang hitam kebudayaan’ yang menghisap ke dalamnya segala sesuatu yang ada di sekitarnya: tubuh, waktu luang, selera, gaya hidup, fashion, pengetahuan (pendidikan), hingga politik dan agama.

Akibatnya, bukan hanya segala aspek kehidupan manusia dikomodifikasi, tetapi lebih dari itu, seperti diresahkan Frankfrut School, budaya populer yang ditunjang industri budaya juga menembus, menyentuh, dan mengguncang kesadaran manusia.

Logika Pemberhalaan, Kesenangan yang Dirayakan

Kegelisahan yang sama diutarakan di dalam buku ini, bahwa persentuhan manusia dengan budaya populer cenderung mengarah pada pemberhalaan atau fetisisme. Fetisisme mengisyaratkan sikap yang menganggap adanya kekuatan, ruh atau daya pesona tertentu yang bersemayam pada objek tertentu.

Istilah fetis sendiri berasal dari bahasa Portugis feitico, yang berarti pesona, daya pikat, atau sihir. Karl Marx menggunakan istilah ini untuk menjelaskan segala sesuatu yang dipuja tanpa alasan akal sehat. Termasuk ke dalamnya pemujaan terhadap ikon-ikon modern, seperti rambut Elvis Presley, jaket Michel Jackson, atau tas Madonna, yang dianggap mempunyai kekuatan atau pesona tertentu sehingga orang mau membeli dengan harga yang sangat mahal (Piliang, 2003: 291).

Dengan demikian, nilai sebuah komoditi tidak lagi diasalkan pada asas manfaat (nilai guna), tetapi lebih pada asas pertukaran (nilai tukar). Dominasi nilai tukar atas nilai guna dalam ekonomi kapitalisme, yang mejadikan uang nilai tukar segala-galanya itulah yang oleh Marx disebut sebagai fetisisme komoditatas. Theodore W. Adorno, pemikir Frankfrut School lainnya mengangkat teori fetisisme komoditas Marx yang berada pada wilayah ekonomi ke tataran budaya.

Menurut Adorno (dalam Dominic Strinati, 2009: 102), yang khas dari komoditas-komoditas budaya adalah “asas pertukaran secara licik mengambil alih asas manfaat.” Untuk komoditas-komoditas budaya seperti musik, karena komoditas-komoditas itu melahirkan suatu hubungan langsung dengan apa yang kita beli –pengalaman musikal- asas manfaatnya menjadi asas pertukarannya sedemikian rupa sehingga asas pertukarannya itu bisa “menyamarkan dirinya sebagai objek kenikmatan.”

Adorno pun pernah menulis: “… konsumen benar-benar memuja uang yang dibayarkan untuk tiket konser Toscanini” (Strinati, 2009: 99). Artinya, ketika relasi sosial dan apresiasi budaya diobjektivikasi dalam pengertian uang, konsumen benar-benar memuja uang yang dibayarkan untuk tiket konser tersebut, dan bukan pertunjukan itu sendiri. Jadi, sifat memuja dalam pengertian ini menurut Adorno terletak pada “sesuatu yang diberikan atau dikembalikan sebagai balasan” (Strinati: 2009: 102). Entah itu prestise, perasaan menjadi anggota kelompok sosial tertentu, kepuasan, kenikmatan atau kesenangan.

Dalam logika itulah, perayaan atas sesuatu yang dikembalikan sebagai balasan, fetisisme budaya populer dapat dipahami. Eko Prasetyo pada kata pengantarnya dalam buku ini, dengan tepat merumuskannya sebagai kesenangan yang dirayakan!

Ruang Refleksi

Buku Berhala itu Bernama Budaya Pop ditulis dengan semangat memberontak ilusi fetitistik budaya populer. “Di tengah arus yang serba ngepop ini, tentu kita sadar bahwa kita telah dihipnotis oleh berbagai rayuan sehingga menghilangkan kesadaran kita sebagai. Kita jangan mau dikendalikan budaya yang sebenarnya buatan manusia sendiri, sehingga terkadang kita menjadikannya sebagai berhala baru yang disembah-sembah. Kita harus bangun dari dunia yang meninabobokan kita, dunia khayal yang memberikan mimpi-mimpi …” (hal, iii-iv)

Oleh karena itu, di dalam buku yang tergolong kategori buku populer ini, Ridho “Bukan” Rhoma, nama pena penulis buku ini Ridho Al-Hamdi mengajak kita berefleksi. Yaitu dengan menyeret pengalaman perjumpaan kita dengan produk-produk industri budaya (televisi, handphone, game, alat-alat kosmetik, mal dan seterusnya), yang selama ini barangkali dianggap wajar, lumrah tak bermsalah ke dalam situasi problematis sehingga terbukakan ruang refleksi yang memungkinkan terjadinya pergulatan bahwa yang dianggap wajar-wajar saja itu ternyata sarat persoalan.

Dan Ridho Al-hamdi, penulis muda yang cukup produktif telah menulis beberapa buku antara lain: Melawan Arus (2006), Kebebasan dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan dan Agama (2006), Jogja Edan (2009), tidak menggiring ke dalam situasi problematis itu dengan konsep-konsep ilmiah yang jelimet, melelahkan dan membuat kening berkerut, tetapi, menungutip Eko Prasetyo, dengan bahasa kesangsian yang polos, lugu dan semangat bertanya.

Mengembalikan kepada Pembaca

Buku ini dibagi dalam beberapa bagian. Pada bagian awal menjelaskan apa itu budaya populer, perkembangannya di Indonesia dan memaparkan serangkain fenomena yang memperlihatkan adanya kecenderungan pemberhalaan. Kemudian bergerak menjelaskan posisi teoritis yang diambil, dalam hal ini mazhab kritis yang digunakan sebagai alat baca.

Pada bagian-bagian selanjutnya, mulai membahas masing-masing produk industri budaya atau budaya populer. Mulai dari tevisi, handphone, game, mal, fashion, internet, google sampai facebook.

Dalam bahasan-bahasannya, nada yang dilontarkan terasa mengecam, tetapi tidak terlampau normatif. Sisi positif dari produk-produk itupun dipaparkan. Dan kerap  menyelipkan cerita tentang pengalamannya serta pengalaman orang-orang di sekitarnya dalam bersentuhan dengan produk-produk budaya populer itu, sehingga dapat menjadi kaca untuk bercermin, berefleksi. Dengan begitu penilaian akhir atas pengalaman persentuhan itu dikembalikan kepada pembaca.

Menjadi Renungan

Sebagai penutup, bagaimanapun budaya populer adalah realitas hidup kekinian yang tidak bisa dielakkan. Kita menghidupinya dalam rutinitas keseharian sehingga kadang sulit menemukan dimensi politis yang melekat padanya bahwa ia mampu memanipulasi kesadaran dan mengarahkan tindakan manusia. Bahkan memberhalakannya sebagai objek kenikmatan.

Dalam kaitan itulah buku yang tergolong ‘ringan’ ini memperoleh posisi pentingnya. Uraian-uraian yang diselipkan atau didasarkan pada pengalaman perjumpaan dengan produk-produk budaya populer, membuat pembaca dapat berjarak dari realitas hidup harian dan merefleksikannya. Maka buku ini, mengutip Eko Prasetyo, menarik untuk tidak sekedar dibaca, tetapi menjadi renungan.


Yazalde Manaka Savio


Actions

Information

One response

23 07 2010
ridho bukan rhoma

thanks mas yazalde atas resensinya… smoga bermanfaat dan salam buat teman2..

Leave a comment